CIREBONPOST — Cirebon – Sejumlah sekolah swasta SMK maupun SMA di Cirebon kerap mengeluh. Mereka diketahui sangat kekurangan murid selama proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025.
Kondisi tersebut ditengarai imbas dari kebijakan baru Pemprov Jawa Barat mengenai tambahan kuota atau rombongan belajar di sekolah negeri menjadi 50 siswa. Padahal, sebelumnya, kebijakan mengatur satu rombongan belajar diisi 36 siswa.
Kepala SMK Veteran Cirebon, Wahyu Hidayat menyebutkan, pada SPMB tahun 2025 hanya menjerima 9 hingga 10 siswa saja. Padahal, katanya, sebelumnya tahun 90 an jumlah siswa di sekolahnya cukup banyak bahkan masuk salah satu sekolah unggulan swasta di Cirebon.
Dulu jumlah siswa kami bisa sampai lebih dari 1000 orang sekarang cari siswa baru 100 saja sulit,” ujar Wahyu, Sabtu (12/7/2025).
Wahyu mengatakan, pada SPMB tahun 2025 ini, siswa yang mendaftar di SMK Veteran Cirebon baru 9 sampai 10 orang. Wahyu mengaku sangat mendukung sejumlah program dan kebijakan yang dikeluarkan Pemprov Jabar.
Namun demikian, ia mengaku heran dengan kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait tambahan kuota siswa di kelas. Kebijakan tersebut, katanya tidak menciptakan pemerataan siswa terutama yang sekolah di swasta.
“Karena memang hidup dan matinya sekolah swasta salah satunya bergantung pada murid atau siswa yang masuk di sekolah kami,” tutur Wahyu.
Keputusan Gubernur
Wahyu berharap pemerintah Provinsi Jawa Barat bisa memberikan solusi agar ada keseimbangan dan pemerataan siswa di sekolah swasta. Ia menegaskan bahwa sekolah siap membantu mendidik dan mengatasi anak putus sekolah.
Seperti diketahui, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengeluarkan keputusan untuk menambah jumlah siswa dalam satu kelas di sekolah. Dari semula 36 menjadi 50 pelajar.
Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah. Dedi berdalih kebijakan itu hanya sementara.
“Maksimal dalam aturan tersebut berarti jumlah siswa di kelas bisa bervariasi, seperti 25, 30, 35 atau jumlah lain yang kurang dari 50,” kata Dedi di akun Instagram pribadinya, @dedimulyadi71.
Kebijakan itu, kata Dedi diterapkan untuk mengakomodasi siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah namun terpaksa ditolak karena keterbatasan kuota.
Menurut Dedi, salah satu alasan utama mengapa siswa putus sekolah yaitu biaya transportasi yang mahal.
“Bisa saja, dia bisa membayar tiap bulan karena tidak begitu mahal, misal bayaran bulanannya Rp200.000 atau Rp300.000, tetapi dia berat di ongkos menuju sekolahnya,” ucap politikus Partai Gerindra tersebut.